Aqidah Al-Wala wal Bara, Aqidah Asing yang Dianggap Usang (Bag. 1)
Di antara konsekuensi dari tauhid atau syahadat laa ilaaha illallah adalah adanya cinta dan loyalitas kepada orang-orang mukmin, dan berlepas diri dari orang-orang kafir. Ini di antara prinsip yang wajib dimiliki oleh seorang mukmin, yaitu aqidah al-wala’ wal bara’. Sayangnya, aqidah ini dianggap aqidah usang dan aqidah yang asing alias tidak dikenal di kalangan umat Islam, seiring dengan semakin jauhnya mereka dari agama.
Pengertian al-wala’ wal bara’
Secara bahasa, al-wala’ berarti “mencintai, membela, dan dekat”. Dari sini, terdapat istilah al-wali, yang secara bahasa berarti orang yang dicintai, kawan (sahabat) atau penolong (pembela), yaitu lawan dari “musuh” (al-‘aduww).
Secara istilah, al-wala’ artinya mencintai orang-orang beriman karena keimanan mereka, dalam bentuk membela, menolong, memberikan nasihat, memberikan loyalitas, berkasih sayang, dan berbagai hak-hak orang-orang beriman (hak-hak persaudaraan) lainnya yang wajib kita tunaikan.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al-Hujurat [49]: 10)
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (penolong) bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71)
Sedangkan al-bara’, secara bahasa berarti “menjauh dari sesuatu, memisahkan diri darinya, dan berlepas diri”.
Secara istilah, al-bara’ berarti tidak memberikan loyalitas kepada musuh-musuh Allah Ta’ala, baik orang-orang munafik atau orang kafir secara umum, menjauhi mereka, dan memerangi mereka ketika orang-orang kafir tersebut memerangi kaum muslimin, sesuai dengan kemampuan kita.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali (kekasih), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 23)
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
”Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga meraka.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 22)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.“ (QS. Al-Mumtahanah [60]: 1)
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya kami berlepas diri darimu dan dari semua yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata), “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 4)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah Ta’ala melarang kita untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir secara umum. Kemudian Allah Ta’ala tegaskan lagi di ayat yang lain adanya larangan untuk memberikan loyalitas kepada orang Yahudi dan Nasrani secara khusus. Allah Ta’ala berfirman,
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5]: 51)
Hukum beraqidah al-wala’ wal bara’
Berdasarkan berbagai ayat di atas, tidak diragukan lagi bahwa aqidah al-wala’ wal bara’ adalah di antara aqidah yang wajib dimiliki oleh setiap muslim. Bahkan aqidah al-wala’ wal bara’ termasuk di antara pondasi penting dalam kita beragama dan termasuk di antara prinsip-prinsip agama yang sangat agung.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أوثق عري الإيمان الموالاة في الله و المعاداة في الله و الحب في الله و البغض في الله
“Ikatan iman yang paling kuat adalah memberikan loyalitas karena Allah, memberikan sikap permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah.” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 3: 429; dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 998)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang ketiganya ada pada dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman: (1) barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya, (2) barangsiapa yang mencintai seorang hamba dan tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah, dan (3) barangsiapa yang benci kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkan dirinya dari kekafiran itu sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Kepada siapakah kita bersikap al-wala’ atau al-bara’
Dilihat dari sisi al-wala’dan al-bara’, terdapat tiga jenis golongan manusia, yaitu:
Pertama, adalah orang-orang yang wajib kita cintai secara mutlak, tidak boleh kita benci (rasa tidak suka) sama sekali. Mereka adalah orang-orang beriman dari kalangan para Nabi, para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, para ulama, dan orang-orang shalih secara umum. Yang paling utama di antara mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kecintaan kita kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haruslah lebih besar daripada kecintaan kita kepada anak atau orang tua kita, bahkan diri kita sendiri.
Kedua, adalah orang-orang yang tidak boleh bagi kita untuk memberikan rasa cinta dan loyalitas secara mutlak. Mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang munafik. Allah Ta’ala berfirman,
تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ
”Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sungguh amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka sendiri, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka, dan mereka akan kekal dalam siksaan.” (QS. Al-Maidah [5]: 80)
Ketiga, adalah orang-orang yang kita cintai dari satu sisi, namun juga kita benci (tidak suka) dari sisi yang lain. Mereka adalah orang muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan (dosa besar) secara terus-menerus alias orang fasik. Sehingga terkumpul dalam diri kita rasa cinta sekaligus rasa benci kepada mereka. Kita tidak boleh membenci mereka saja secara mutlak, dan tidak mencintainya sama sekali, bahkan berlepas diri dari mereka. Namun, kita mencintai mereka sesuai dengan kadar keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah Ta’ala, dan kita juga membenci mereka (ada rasa tidak suka) sesuai dengan kadar maksiat yang mereka tampakkan.
Kecintaan kepada mereka menuntut kita untuk menasihati dan tidak tinggal diam atas maksiat yang mereka kerjakan. Rasa cinta kepada mereka menuntut kita untuk mengingkarinya, memerintahkan mereka untuk berbuat yang ma’ruf, mencegah mereka dari perbuatan munkar, menasihati mereka untuk mengerjakan kebaikan dan meminta mereka untuk menjauhi keburukan. Rasa cinta tersebut juga menuntut kita untuk menghukum mereka, apabila memiliki kewenangan (seperti ulil amri), sehingga mereka berhenti dari melakukan maksiat tersebut, bertaubat dari kesalahannya dan mencegah orang lain dari berbuat yang serupa.
Hukuman tersebut bisa jadi dalam bentuk mendiamkannya (hajr), jika memang terdapat kebaikan (maslahat) ketika didiamkan. Seperti hajr Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada tiga orang sahabat yang tidak mengikuti perang Tabuk tanpa alasan, dan memerintahkan semua sahabat beliau untuk mendiamkan tiga orang sahabat tersebut, sebagaimana dalam riwayat Bukhari (no. 4418) dan Muslim (no. 2769) dari sahabat Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Bagaimana dengan seorang muslim yang menampakkan kemunafikan?
Adapun terhadap orang-orang muslim yang tertuduh munafik (mungkin ada kemunafikan dalam dirinya), karena mereka menampakkan berbagai perbuatan yang merupakan perbuatan orang-orang munafik (nifak akbar), maka kita memberikan wala’ sesuai dengan kadar kebaikan yang mereka tampakkan dan kita memusuhi mereka sesuai dengan kadar keburukan yang mereka tunjukkan. Dan jika kita bisa memastikan kemunafikannya, maka status orang ini dalam aqidah al-wal’ wal bara’ adalah disamakan dengan orang-orang kafir asli.
[Bersambung]
***
@Sint-Jobskade 718 NL, 17 Dzulqa’dah 1439/ 1 Agustus 2018
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Referensi:
Disarikan dari kitab Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin hafizhahullahu Ta’ala, cetakan Maktabah Makkah tahun 1425 H.
🔍 Cara Memperkuat Iman, Doa Untuk Mempelai, Zuhud Terhadap Dunia, Puasa 10 Muharram 2018, Qodim Artinya
Artikel asli: https://muslim.or.id/43163-aqidah-al-wala-wal-bara-aqidah-asing-yang-dianggap-usang-bag-1.html